Sepetak kamar. Dua gelas kopi manis. Selantun tembang rindu. Hanya itu yang kita miliki saat ini. Waktu berputar begitu cepat. Namun mata ini tak kunjung pekat. Aku sama sekali tak dihinggapi rasa kantuk. Demikian pula kamu. Adalah sebuah kesalahan jika sebelum tidur kita minum segelas kopi. Namun sepertinya kita tak ingin melewati malam ini begitu saja. Akhirnya kita memutuskan untuk duduk saja di teras kamar ini. Berdua saja. Hanya aku dan kamu.
Menikmati dinginnya udara malam sambil mendengarkan alunan musik. Lembut mengalir mengikuti arah angin. Sementara itu, sambil sesekali menarik nafas, kamu menunjuk ke langit. Menunjuk ke arah bintang itu. Diam berkelip-kelip. Entah apa maksudmu aku tak tahu. Barangkali sudah diam saja. Nikmati saja. Tidak perlu berangan apapun. Malam lebih indah jika dinikmati dalam diam. Lagu berganti. Sabda alam. Kita masih dalam diam. Sepetak kamar. Dua gelas kopi manis yang tinggal separuh. Alunan lagu sendu. Hanya ini yang kita miliki saat ini. Diam dalam malam kelam. Tak perlu berangan apapun.
Suara orang lalu lalang ribut sekali. Sibuk berlarian kesana kemari. Bingung mencari kunci. Bingung mencari kerudung. Bingung mencari sandal. Bingung mencari yang lain-lain. Sementara di luar iring-iringan jenazah akan segera diberangkatkan. Mobil ambulans pembawa jenazah serta mobil pengiring bersiap untuk memutar roda. Menyusuri jalanan kearah pemakaman di ujung timur kota. Suara orang berdoa ditingkah suara tangis memilukan. Seolah tak rela melepas kepergian jenazah.
Di sudut ruang tamu rumah, seorang wanita berpakaian serba hitam berkerudung putih tersedu dalam diam. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Namun waktu tak pernah peduli dengan permintaan apapun. Dia akan terus berlari. Beriringan dengan hari yang terus berganti. Wanita itu terus saja menangis. Tak peduli uluran tangan yang mengelus pundaknya. Tak peduli ucapan yang mencoba menenangkan hatinya. Tak peduli apapun.
Dia hanya berharap semoga waktu bisa diputar kembali. Tiba-tiba seorang pria menghampiri dan mengajaknya untuk bergegas masuk ke dalam mobil. Jenazah akan diberangkatkan saat itu juga. Namun wanita itu tak ingin beranjak. Dia hanya ingin berada di sana. Di sudut ruang tamu itu. Menangis. Entah menangisi sebuah perpisahan atau menangis menyesali keadaan atau menangisi ketidakpedulian sang waktu. Tak ada yang tahu.
Dua orang wanita tengah duduk di sebuah bangku taman. Wanita satu tampak bermuka marah sedangkan yang satu diam dalam tenang. Keduanya terlihat tengah memperbincangkan sesuatu yang tak terlalu serius. Hanya persoalan yang sama yang terus terjadi berulang-ulang. Seolah tanpa solusi. Hanya berputar-putar saja di tempat yang sama. Sudut pandang yang sama. Orang yang sama. Pokok permasalahan yang sama. Itu-itu saja.
Seperti sore itu. Duduk di bangku yang sama. Pembicaraan yang sama. Ekspresi yang sama. Sama-sama tak menemukan jalan keluar dari persoalan yang selalu sama. Namun sore ini situasi taman tak sama Taman sore itu sedikit sepi. Tak banyak orang jogging hari ini. Atau sekedar membaca koran. Atau sekedar duduk saja seperti mereka berdua. Atau sekedar lewat saja. Tak banyak pula anak kecil bermain. Bahkan orang gila yang biasa tidur di taman inipun tak terlihat sore itu. Kemanakah gerangan dia si orang gila.
Mereka menyebutnya orang gila. Terobsesi untuk jadi polisi. Hingga tak heran dia suka sekali membunyikan peluit sambil menggerakkan tangan mengatur barisan bunga di taman. Pohon-pohon disuruhnya untuk berbaris rapi. Memberi hormat pada lampu taman, seolah komisaris besar polisi. Benar-benar menyedihkan. Orang gila dan taman ini belakangan seperti dua sisi mata uang tak terpisahkan.
Setiap saat, setiap waktu. Hujan atau panas. Siang atau malam. Orang gila itu selalu ada di taman ini. Ketika setiap orang pergi ke taman untuk menikmati sore sambil menunggu berlalunya waktu, orang gila itu seolah tak mengenali pergantian waktu. Nirwaktu. Setiap saat baginya adalah pengorbanan dan pengabdian untuk sebuah cita-cita heroik. Menjadi seorang polisi.
Wanita satu : “Bapak tak pernah mencintaiku”
Wanita dua : “Bagaimana kau bisa mengatakan demikian. Memangnya kau tahu itu?”
Wanita satu : “Aku tahu persis karena tiap hari aku mengalami kekecewaan akibat sikapnya padaku “
Wanita dua : “Barangkali kau hanya perlu lebih memahaminya sebagai seorang tua yang kesepian”
Wanita satu : “Aku sudah mencoba. Namun Bapak tak pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya”
Wanita dua : ……….
Wanita satu : “Aku nyaris tak menemukan celah untuk berdamai dengannya “
Wanita dua : ……………
Wanita satu : “Bapak sepertinya tak ingin aku menunjukkan betapa besar rasa sayangku padanya”
Wanita dua :…………
Wanita satu :”Apa saranmu? Kau orang terdekatku. Sahabatku. Paling mengerti aku”
Wanita dua : “Sabar”
Wanita satu menghembuskan nafas panjang. Sore kembali hening. Taman masih sepi. Mendung menggelayut. Angin menyapu pelan. Mereka memutuskan untuk pulang.
***********
Iring-iringan jenazah telah berangkat ke pemakaman. Wanita itu tetap saja menangis di pojok ruang tamu. Keadaan rumah sepi. Lorong rumah sepi. Kamar-kamar sepi. Hanya tinggal wanita itu sendiri. Kini dia mulai beranjak dan melangkah ke sebuah kamar. Salah satu kamar utama dalam rumah tua itu. Wanita itu menyapu pandangan ke seliling ruang.
Tembok yang di penuhi foto-foto. Kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya. Salah satunya tampak foto seorang pria paruh baya tengah memeluk anak perempuan kecil berambut ikal. Senyum mengembang di antara keduanya. Rambut mereka carut marut diterpa angin pantai yang tak bersahabat. Tapi mereka seolah tak peduli. Larut dalam kebahagiaan. Dibibir pantai mereka berpelukan. Indah sekali. Tangis wanita itupun pecah.
“Bapak……..” gumamnya pelan. Seprai ungu bergaris biru masih menyisakan cekungan tubuh Bapaknya beberapa jam yang lalu. Saat tubuh renta itu lemah berbaring sendiri. Sementara wanita itu bersimpuh di samping ranjang. Bapak sudah pergi. Menyisakan segala sesal tak henti. Jangan pergi dulu, Bapak. Aku belum sempat mengucap maaf padamu. Aku belum sempat bersenda gurau denganmu. Aku belum sempat tersenyum padamu. Aku belum sempat berbagi cerita lagi denganmu. Aku belum sempat membalas segalanya. Aku belum melakukan apapun untuk membuat Bapak bangga padaku.
Tiba-tiba wanita itu begitu marah. Entah marah pada siapa. Benar-benar marah.
Dua cangkir kopi yang sudah habis. Angin malam yang mengalir pelan. Suara musik sudah lama berhenti. Meninggalkan kita berdua dalam kelam. Hanya ini yang kita miliki saat ini. Kamu meraih tanganku pelan. Kita masih melihat kearah bintang. Bintang itu berkelip. Begitu terang namun begitu jauh. Sehingga tak mungkin jika kita ingin merengkuh. Sudahlah diam saja, katamu. Tak usah menginginkan apapun.
Karena dalam diam, kita akan mampu memaknai segalanya. Memaknai malam, memaknai perpisahan, memaknai penyesalan, dan memaknai kesendirian. Suara musik sudah lama berhenti. Berganti dengan alunan orkestra malam yang benar-benar sempurna. Entah mengapa, tiba-tiba saja, kini aku benar-benar bersyukur kita memilikinya malam ini.
Kopi
01.13 / Comments (0) / by administrator
Posted in: FIKSI
This entry was posted on 01.13 and is filed under
FIKSI
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar:
Posting Komentar