Menik dan Tedjo duduk dalam diam di beranda. Hening. Sepi. Sama-sama hanya mendengar suara semilir angin dan gemerisik ribut daun. Baru lima menit yang lalu keduanya terlibat adu mulut sama-sama mempertanyakan cinta. Mempertanyakan seberapa besar sisa cinta yang masih ada. Bosan. Bosan dan bosan. Terus saja seperti itu. Beradu mulut tanpa ada titik temu. Ujung-ujungnya hanya mempertanyakan cinta. Memangnya ada apa dengan cinta. Ah cinta saja tak pernah bingung dan pusing mikirin mereka berdua. Mau tetap seperti itu ya sudah. Atau lebih baik pergi saja mencari korban-korban yang siap terperangkap dalam jatuh cinta. Lantas hinggap dan menetap sesuka hati. Cinta memang yang paling berkuasa. Bisa datang dan pergi seenak-enaknya. Tanpa harus memikirkan yang ditinggal. Tanpa harus memusingkan yang patah hati. Tanpa harus meributkan yang depresi dan akhirnya bisa-bisa bunuh diri lantaran sakit hati karena cinta.
Seperti Menik dan Tedjo sore itu. Sama-sama duduk diam membisu. Rasanya tak ada lagi yang harus dipusingkan. Rasanya tak ada lagi yang harus dijaga-jaga. Hingga seperti sebuah porselen antik cina yang mahal harganya. Jangan sampai tergores, retak, apalagi pecah. Tak ada lagi. Menik tampaknya sudah bosan dengan serbuan pertanyaan-pertanyaan Tedjo yang seperti hari-hari sebelumnya. Seperti kemarin. Kemarinnya lagi. Kemarin yang kemarinnya lagi dan seterusnya. Sama saja. Itu-itu saja. Dasar Tedjo tak kreatif bikin pertanyaan. Memangnya tak ada pertanyaan yang bisa bikin hati senang. Hati gembira membuncah-buncah dan menggelegak-gelegak seperti air mendidih diatas tungku yang begitu panas menyala-nyala apinya. Seperti ketika pertama kali mereka saling mengenal dan memutuskan untuk saling mencintai. Atau barangkali Menik yang sudah terlalu enggan mendengar setiap kata yang mengalir begitu saja dari mulut Tedjo, yang seolah-olah tanpa dipikir. Mengalir saja dan tak pernah jelas akan bermuara kemana. Bosan. Menik sudah benar-benar bosan.
Tedjo menatap Menik dengan tatapan dalam. Tatapan yang penuh beribu-ribu tanya. Hingga berjubel-jubel tanya di kepala seperti hendak meledak saja.
“Menik, kamu masih mencintaiku, kan?”
“Sudah duapuluh tujuh kali kamu tanyakan pertanyaan yang sama sore ini”
“Aku tak pernah berhenti sampai kamu menjawabnya”
“Kamu ingin kepastian seperti apa”
“Seperti kepastian matahari untuk terus menyinari bumi. Seperti kepastian bunga-bunga yang selalu mekar di musim semi. Dan seperti kepastian panas dalam api, dingin dalam embun dan terang dalam cahaya”
“Jawabanmu selalu membosankan. Kepastian dalam benakmu tak pernah mengejutkan. Hanya rutinitas alam yang sama dari hari kehari. Aku ingin sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang akan membuat hidupku lebih bermakna”
“Katakan saja. Andai aku bisa melakukannya, akan kupenuhi semua permintaanmu”
“Aku ingin matahari tak usah terbit sehari saja. Atau barangkali tak perlu ada terang dalam cahaya. Barangkali dengan begitu hari bisa jadi lebih berbeda.”
Tedjo hanya terdiam.
Dan suasana sore itu kembali sepi. Hening. Dua manusia yang sama-sama mempertanyakan cinta itu diam. Tak tahu harus bagaimana menyikapi cinta di antara mereka. Menik dan Tedja, sama-sama bingung memahami arti cinta. Barangkali saja saat itu cinta justru sudah mulai enggan berada di antara mereka. Merayap pelan tapi pasti mulai beringsut entah kemana. Mencari jalan untuk bisa lebih leluasa dan sedikit merdeka. Sebab diantara keduanya, cinta tak lagi bisa sedikit lega. Bahkan akhir-akhir ini lebih sering terasa menciut begitu saja. Kian menyusut hingga tak lagi bergelora bagai api membara. Menik dan Tedja tetap diam seribu bahasa. Tetap mencari makna dalam diam dan atas nama cinta. Oh cinta. Tetap saja disini. Jangan pernah ada keinginan untuk pergi. Tapi cinta tak kenal kompromi. Dia bisa saja datang dan pergi sesuka hati. Sore bergerak menjadi senja. Senja mulai bergerak menjadi malam. Malam mulai beranjak semakin kelam. Menik dan Tedja tetap tak bergeming dalam diam. Sepi……
Menik merona-rona wajahnya. Meski dalam gelap, wajahnya tetap saja merona-rona. Hatinya berbunga-bunga seperti bunga yang bermekaran di taman. Malam jadi semakin berwarna. Tak melulu hitam, suram, dan kelam. Menik jadi begitu menyukai malam. Malam-malam ketika dia bertemu dengan si Anu. Malam-malam ketika dia bercanda tawa dengan si Anu. Anu yang mempesona meski tak jelas raut mukanya. Anu yang begitu menawan dan rupawan meski dalam malam berawan. Anu begitu luar biasa melenyapkan kebosanan. Kebosanan dan kejenuhan Menik atas sikap Tedja yang selalu menuntut kepastian. Anu tak pernah meminta kepastian Menik. Anu tak pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membosankan seperti pertanyaan-pertanyaan Tedja. Anu bisa membuat hari-hari bergulir tanpa kepastian. Selalu menyenangkan dan penuh kejutan. Kadang juga tantangan bahkan tak jarang pula menggairahkan. Meski Menik harus selalu bertemu dengan Anu dalam kegelapan, namun Menik tak pernah mempersoalkan itu. Karena sejak awal bertemu, mereka berdua sudah membuat kesepakatan untuk bertemu dalam kegelapan. Dalam malam-malam yang gelap tanpa setitikpun cahaya menerangi. Seperti lagu-lagu cinta saat ini. Kekasih gelapku..oohh kekasih gelapku. Menik pernah sekali mendengar lagu itu dinyanyikan sebuah grup band idola remaja. Dan seketika itu, ia langsung suka. Begitu mengingatkan dirinya pada si Anu. Sejak itu Menik selalu mencoba cara apapun demi bisa mendengarkan bait-bait lagu kekasih gelapku. Yang begitu membangkitkan bayangan si Anu dalam benaknya. Dalam kegelapan. Dalam hati yang membuncah bahagia dan detak jantung tak karuan penuh pesona. Menik mulai menjelajah berbagai stasiun radio, mengirimkan pesan singkat, menelepon, memohon agar lagu kesayangannya diputar. Hingga membeli kepingan kaset dan compact disc dengan isi yang sama. Lagu kekasih gelapku...oohh kekasih gelapku.
“Jadi, siapa kekasih gelapmu itu?”
“Siapa?”
“Ya, siapa nama kekasih gelapmu itu?”
“Kamu yakin aku punya kekasih gelap?”
“Yakin. Seyakin aku menanyakan namanya ke kamu”
“Atas dasar apa keyakinan kamu? Memangnya kamu punya bukti kalau aku punya kekasih gelap? Kekasih gelap itu apa juga aku nggak ngerti”
“Kekasih gelap itu selingkuhan”
“Maksudmu aku berselingkuh dengan orang lain?”
“Ya. Kamu selingkuh. Sudahlah, Menik. Tinggal jawab ya atau tidak. Itu saja. Apa susahnya”
Menik menarik nafas panjang. Sore tak pernah menarik bagi Menik. Senja tak pernah indah dalam kamus benaknya. Selalu berisi detik-detik membosankan bersama Tedja. Selalu penuh dengan serbuan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah jelas arahnya. Tuduhan-tuduhan tanpa fakta yang tak perlu dibantah oleh Menik. Menik bosan. Kalaupun ia harus mengakui pertemuan-pertemuannya dengan Anu, tak ada yang istimewa. Anu bukanlah kekasihnya. Anu tak pernah mengatakan itu. Anu dan Menik tak pernah membahas hal itu. Tak penah bicara tentang kepastian. Tak pernah bicara tentang masa depan dan perubahan. Hanya pertemuan-pertemuan dalam kegelapan yang mungkin saja akan sama membosankan. Seperti apa yang dialami Menik bersama Tedja. Ia melirik separuh ke arah Tedja. Dan separuhnya lagi ke arah bayangan matahari di tembok beranda. Cepatlah pergi. Hingga aku bisa segera bertemu malam. Hingga aku bisa segera menepis kejenuhan. Menik melangkah pergi meninggalkan Tedja.
Menik dan Anu terdiam dalam gelap. Sepi dan sunyi. Hanya mereka berdua dan derik suara jangkrik di kejauhan.Bulan begitu jauh diantara kelam langit malam. Bintang tak satupun menyembulkan diri. Bulan sendiri. Angin sesekali meniup lembut lapisan kulit ari. Menyentuh pelan seperti usapan lembut tangan Ibu. Mereka tetap terdiam. Tak biasanya suasana kelam menyertai pertemuan-pertemuan Menik dan Anu. Tak seperti malam ini. Malam yang tak biasa. Malam yang tak bahagia. Sejak Menik mengatakan kepada Anu, jika mereka tak usah lagi bertemu. Menik tak sanggup harus terus hidup dalam keadaan yang tak menentu bersama Anu. Anu tak juga kunjung memberikan kepastian. Anu tak kunjung menunjukkan jati diri yang sebenarnya kepada Menik. Apakah kelak mereka akan menjadi sepasang kekasih. Apakah kelak mereka akan berjalan berdua melewati hari-hari dan siang yang benderang. Tanpa takut memperlihatkan kepada semua orang bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Yang kelak akan hidup bahagia selamanya hingga lahir anak-anak mereka. Dan mereka bisa bermain di taman bersama tanpa takut bermandi cahaya matahari. Menik akhirnya sampai juga pada titik keraguan. Dia tak ingin jika suatu suatu saat harus mengalami kejenuhan yang sama dengan hubungannya bersama Tedja. Menik melirik Anu. Anu hanya diam. Menik diam. Sekian detik berlalu. Detik berlalu menit berlalu. Waktupun terus berputar. Menik berdiri. Melangkah meninggalkan Anu sendiri. Dalam gelap dan sepi.
“Kamu memang benar-benar kekasihku, Menik. Matahari hidupku. Laksana surya sumurupku. Tidak ada wanita lain yang benar-benar membuat aku trisna kecuali kamu. Sekarang aku benar-benar yakin kalau hanya aku yang kamu cintai”
Menik terdiam dalam sepi. Bingung dan kalut jadi satu. Bukan. Bukan itu yang akan aku katakan padamu, Tedjaku. Batin Menik teriak memberontak. Sudah cukup semuanya. Mending pergi saja. Menik tak sanggup memilih diantara dua. Dua lelaki, Tedja dan Anu si pujaan hati. Kekasih gelap dalam mimpi yang tak kunjung menampakkkan jati diri. Oh kejam nian cinta. Yang seolah tak pernah mau mengerti apapun yang Menik inginkan. Menik sesaat terdiam. Bimbang dan ragu. Sampai pada sebuah tanya, jangan-jangan aku yang terlalu menuntut ini itu. Menik tetap membisu dalam diam seribu. Tanpa sadar kakinya melangkah pergi meninggalkan senja kelabu. Selamat tinggal Tedjaku. Kaupun tak akan kupilih untuk menjadi kekasih hatiku. Bukan kau, Tedjaku. Menik terus melangkah dalam diam. Tedja menatap kepergian Menik dalam diam. Semua diam. Senja diam menunggu malam datang. Daun-daun diam menunggu angin datang. Matahari beringsut turun dalam diam menunggu bulan datang. Menik terus menjauh dalam diam menunggu cinta datang.
mitha laksono | agustus 2008
Read More..
Sepotong Cinta di Beranda
11.40 / Comments (0) / by administrator
Dua tahun penantian di beranda. Aku begitu senang menikmati suasana senja di sini. Semilir angin lembut serta matahari yang hampir tenggelam di ujung barat, dengan warnanya yang jingga seperti membakar langit. Bunga-bunga mekar di pekarangan rumah yang tak henti menebar wangi sepanjang hari. Aku masih saja setia merawat mereka, seperti aku merawat cinta kita.
Dan kursi goyang tua ini. Sebenarnya aku belum cukup tua untuk duduk di sini menikmati senja seorang diri. Seperti penolakanku saat pertama kau kenalkan aku pada benda ini. Barang aneh yang hanya digunakan oma dan opa yang kesepian menunggu berlalunya waktu. Bergoyang sepanjang hari seorang diri. Begitu dulu pemikiranku. Tapi kamu selalu memaksaku untuk mencoba memulai dan selanjutnya menikmati, bagaimana rasanya duduk di kursi ini.
Namun tetap saja aku tak pernah mau dan peduli. Dan akhirnya hanya kamu saja yang tak pernah berhenti melewati waktu menikmati senja di atas kursi tua ini. Kursi yang diberikan cuma-cuma oleh pemilik rumah lama, saat kita memutuskan untuk membeli saja rumah ini. Tempat dimana kita memulai segalanya, tepat sehari setelah mengucap janji suci.
Termasuk bunga-bunga itu. Begitu kau memutuskan untuk pindah dan menghuni rumah ini, begitu pula bunga-bunga itu sudah berada di situ. Mekar terus sepanjang waktu. Tak peduli meski musim hujan berlalu dan berganti dengan musim kemarau. Seperti cintaku padamu yang tak pernah lekang dimakan waktu. Meski kini aku tak pernah tahu dimana keberadaanmu, namun aku akan setia menunggu. Aku hanya tahu, suatu saat nanti kamu pasti akan kembali kesini untukku. Membawa cinta berbunga-bunga lagi seperti dulu saat kita pertama bertemu.
Ya, cinta berbunga-bunga, laksana bunga-bunga yang baru merekah seperti bunga-bunga itu. Aku masih akan tetap disini. Di beranda rumah ini. Membuka pintu lebar-lebar jika kau berniat untuk kembali. Setelah haus dahagamu terpenuhi, cepatlah kau pulang kembali.
Empat tahun penantian di beranda
Tadi sore aku sudah menyirami dan memberi pupuk bunga-bunga kita. Kusiangi pula rumput-rumput di sekitar mereka, agar tak mengganggu keindahannya. Hingga kau dapat menikmatinya jika pulang nanti. Aku tetap merawat mereka dengan baik. Baik sekali seperti aku menjaga cinta ini. Cepatlah pulang kasihku. Aku begitu merindukanmu. Aku benar-benar tak ingin duduk di sini menikmati senja berganti seorang diri. Diatas kursi goyang ini. Merasakan tua dan sepi sendiri. Tidak. Aku belum cukup tua. Sekali lagi tidak. Aku tak suka jika mereka mengatakan aku tua. Baru sepuluh tahun kita menikah ditambah empat tahun penantianku. Belum cukup tua bukan.
Lihatlah tubuhku yang masih indah dan kecantikanku yang masih terjaga. Kulitku pun belum keriput dimakan usia. Payudaraku masih menggantung dengan tepat ditempatnya tanpa perlu alat penyangga. Dan rambutku, ah, masih hitam-hitam saja. Mereka memang mengada-ada tiap kali mengucap aku telah tua. Mereka terlalu mengada-ngada. Setiap hari aku berhias diri untuk menantimu pulang kembali. Menambah gincu sedikit dan merapikan rambutku di depan cermin hadiah darimu. Kau masih ingatkan, ketika menghadiahiku cermin antik ini. Hasil buruanmu setelah kau berkelana dari suatu tempat jauh. Kau suka sekali berkelana kemana saja. Tapi aku tetap setia saja menunggumu di rumah kita. Menantimu pulang dengan segenap cinta. Pulanglah cepat suamiku. Sebelum matahari tenggelam berganti malam dan menyisakan perpisahan yang mendalam. Aku masih cukup cantik untuk menunggumu di sini. Di beranda ini dengan segenap cinta kasih.
Lima tahun penantian di beranda
Angin berhembus cukup kencang sore ini. Tapi jangan khawatir sayang, aku mengenakan mantel yang cukup hangat untuk menantimu di beranda ini. Aku sudah berhias diri dan menurutku akan cukup menarik hati jika kau melihatnya saat pulang nanti. Ah, lihatlah, pipiku yang memerah seperti buah strawberry. Pintu rumah juga sudah kubuka dengan lebar-lebar sekali. Apakah kau akan pulang malam ini? Aku tak peduli. Aku akan terus menanti kau kembali. Pulang ke rumah ini dan kita bisa bercinta lagi. Aku tak perlu tidur sendiri dan harus melewati malam-malam sepi. Sudah berapa malam kau pergi aku tak pernah menghitung lagi. Sudah banyak sekali.
Aku melirik ke dalam sesekali. Ku lihat disana Ibu duduk seorang diri seperti aku di beranda ini. Wajahnya begitu murung tampak sedih sekali. Ibu begitu menderita sejak kau pergi. Dia tak rela aku harus menunggumu terus-terusan begini di beranda di atas kursi goyang tua ini. Tak peduli hujan turun membasahi bumi. Tak peduli angin kencang menerpa tubuh ini. Bisa masuk angin nanti, begitu kata Ibu menasehati. Ah, aku tetap tak peduli. Yang penting aku akan tetap disini, menunggumu kembali. Aku sesekali melirik Ibu yang masih duduk sendiri. Menangis di sana tiada henti. Sudahlah Ibu tak perlu kau risau hati, aku akan baik-baik saja menunggu kekasih hatiku kembali.
Enam tahun penantian di beranda
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tahun berputar cepat hingga hari ini. Tepat di hari ini. Sudah enam tahun aku menunggumu pulang tapi kau tak kunjung datang. Kemanakah gerangan pergimu, sayang. Sudah hampir habis kesabaranku. Sudah hampir naik ke ubun-ubun rasa amarahku. Sudah hampir sirna rasa cintaku. Tapi kau tak juga kunjung kembali. Belum puaskah kau di sana menguji nyali. Bercinta dengan seseorang lain yang lebih kau kehendaki. Tak tahu malu. Memangnya dia secantik apa. Apakah melebihi Dewi Shinta atau melebihi Nawang Wulan atau melebihi Greta Garbo atau bahkan melebihi Boneka Barbie si tokoh imajinasi. Aku sudah bosan dengan penantian ini.
Bunga-bunga itu juga sudah lama mati dan tak lagi kupelihara dengan sepenuh hati. Untuk apalagi aku menjaga cinta ini. Mungkin benar kata Ibu, aku sudah masuk angin tak terobati. Sudah parah sakit ini hingga menjalar mengganti seluruh cinta di dalam hati. Cintaku pelan-pelan mulai terhapus dan terganti seiring dengan berlalunya hari. Penantian berujung sepi. Kemana kau pergi berkelana kali ini. Masih cukupkah alasan untuk tak kembali. Atau barangkali kau tersesat dan lupa jalan untuk pulang ke rumah ini. Cinta memang buta. Cinta memang gila. Sudahlah, jangan-jangan kau memang lupa. Jangan-jangan kau tak ingat lagi jalan mana yang perlu kau lalui untuk sampai kesini. Atau aku perlu menantimu di ujung jalan itu. Sekedar untuk menunjukkan padamu disini rumah kita. Rumah kita yang penuh cinta. Tapi sepertinya itu belum perlu.
Tak peduli aku meski berapa lama lagi harus menunggu. Meski aku harus sendiri, kuputuskan saja akan tetap menantimu di beranda ini. Meski sudah mulai memutih rambutku, meski tak indah lagi tubuhku, meski sudah mati bunga-bunga itu, meski Ibu harus menangis setiap waktu, meski masuk angin parah menyerangku, dan meski musim akhirnya berganti salju. Aku akan tetap menunggumu di beranda ini. Diatas kursi goyang tua ini sendiri dan berharap kau akan kembali bersamaku lagi. Merajut hari dengan penuh cinta kasih di rumah ini. Bersamamu.
Sepuluh tahun penantian di beranda
Barangkali ini yang dinamakan cinta. Lengkap dengan atribut kesetiaan dan kesabaran atau bahkan ketololan. Menunggu sekian lama tanpa kepastian. Harus kemana lagi aku mencari kabar tentangmu, saat angin tak lagi bersedia membawakannya untukku. Angin sudah lelah. Beranda ini sudah lelah. Kursi ini sudah lelah. Senja sudah lelah. Akupun sudah mulai lelah. Sudah sepuluh tahun aku menanti disini.
Di beranda ini sendiri. Terus berharap bisa merajut mimpi seperti dulu lagi saat kau kembali. Tapi semuanya tetap saja jadi mimpi. Tak akan pernah bisa terjadi jika kau tak kembali. Aku sudah benar-benar lelah. Tubuh ini sudah lelah. Jiwa dan hati ini juga lelah. Apalagi cinta ini sudah sangat lelah. Sudah, sudahlah. Barangkali memang sudah saatnya aku menyudahi penantian tak berkesudahan ini. Lebih baik aku tak berdiam diri di sini. Barangkali aku bisa menemukanmu di suatu tempat. Entah dimana. Barangkali memang aku harus pergi, dan tidak hanya bermimpi kau kembali ke rumah ini. Atau barangkali kau kini sedang menungguku juga. Menungguku di suatu tempat dengan segenap cinta dan seikat bunga.
Ya, aku memang harus pergi mencarimu. Tapi jangan khawatir, meski aku pergi, aku akan tetap membuka pintu rumah ini lebar-lebar dan meninggalkan sepotong cinta di beranda rumah kita. Agar kelak jika kau kembali, kau masih akan menemukan cinta untukmu. Benar-benar masih ada cinta untukmu meski kini tinggal sepotong saja. Tahukah kamu mengapa cinta itu tinggal sepotong saja. Cinta itu semakin habis digerus waktu. Jika kamu kembali nanti, jagalah cinta itu. Jagalah baik-baik meski hanya tinggal sepotong saja.
***
Sore itu, saat angin berhembus lembut masuk melalui daun pintu dan terus saja masuk ke ruang tamu, dimana seorang Ibu tengah berbicara dengan putri semata wayangnya. Putri tersayang yang tinggal satu-satunya. Benar-benar hanya tinggal satu saja.
“Dia, masih saja di situ”
“Dia siapa? Bagaimana Ibu tahu ?”
“Ibu selalu tahu”
“Bagaimana caranya Ibu bisa tahu?”
“Pokoknya Ibu tahu”
“Masihkah dia bersedih seperti dulu, Ibu?”
“Dia akan selalu setia menunggu di situ. Seorang diri di beranda itu. Dengan segala rasa sepi seperti dulu saat dia pergi dan tak pernah kembali”.
Keduanya lantas terdiam.......
Suasana tiba-tiba saja hening. Hening sekali. Hanya sesekali terdengar gemeresak suara daun ditingkah angin di luar sana. Rupanya angin sudah berlalu dari ruang tamu. Angin sudah menjauh meninggalkan suasana hening dan sepi membeku. Nyelonong pergi tak tahu diri tanpa permisi. Hanya menyisakan pilu dan sesal di hati.
Barangkali angin pergi mencari kekasih hatinya yang sudah lama berkelana. Tak tahan diri rupanya dia menunggu dalam kesabaran saja. Barangkali kini dia pergi menyusuri kota dan setiap denyut kehidupannya. Menjelajah berkelana berarah kemanapun dia suka. Yang jelas bukan menunggu saja di beranda. Menunggu tanpa batas waktu dengan sepotong cinta. Menunggu dalam diam dan tanya apakah akan kembali kekasihku. Kembali dengan membawa cinta seperti dulu seperti ketika pertama kali bertemu.
Mitha Laksono | Desember 2007
Read More..
Dan kursi goyang tua ini. Sebenarnya aku belum cukup tua untuk duduk di sini menikmati senja seorang diri. Seperti penolakanku saat pertama kau kenalkan aku pada benda ini. Barang aneh yang hanya digunakan oma dan opa yang kesepian menunggu berlalunya waktu. Bergoyang sepanjang hari seorang diri. Begitu dulu pemikiranku. Tapi kamu selalu memaksaku untuk mencoba memulai dan selanjutnya menikmati, bagaimana rasanya duduk di kursi ini.
Namun tetap saja aku tak pernah mau dan peduli. Dan akhirnya hanya kamu saja yang tak pernah berhenti melewati waktu menikmati senja di atas kursi tua ini. Kursi yang diberikan cuma-cuma oleh pemilik rumah lama, saat kita memutuskan untuk membeli saja rumah ini. Tempat dimana kita memulai segalanya, tepat sehari setelah mengucap janji suci.
Termasuk bunga-bunga itu. Begitu kau memutuskan untuk pindah dan menghuni rumah ini, begitu pula bunga-bunga itu sudah berada di situ. Mekar terus sepanjang waktu. Tak peduli meski musim hujan berlalu dan berganti dengan musim kemarau. Seperti cintaku padamu yang tak pernah lekang dimakan waktu. Meski kini aku tak pernah tahu dimana keberadaanmu, namun aku akan setia menunggu. Aku hanya tahu, suatu saat nanti kamu pasti akan kembali kesini untukku. Membawa cinta berbunga-bunga lagi seperti dulu saat kita pertama bertemu.
Ya, cinta berbunga-bunga, laksana bunga-bunga yang baru merekah seperti bunga-bunga itu. Aku masih akan tetap disini. Di beranda rumah ini. Membuka pintu lebar-lebar jika kau berniat untuk kembali. Setelah haus dahagamu terpenuhi, cepatlah kau pulang kembali.
Empat tahun penantian di beranda
Tadi sore aku sudah menyirami dan memberi pupuk bunga-bunga kita. Kusiangi pula rumput-rumput di sekitar mereka, agar tak mengganggu keindahannya. Hingga kau dapat menikmatinya jika pulang nanti. Aku tetap merawat mereka dengan baik. Baik sekali seperti aku menjaga cinta ini. Cepatlah pulang kasihku. Aku begitu merindukanmu. Aku benar-benar tak ingin duduk di sini menikmati senja berganti seorang diri. Diatas kursi goyang ini. Merasakan tua dan sepi sendiri. Tidak. Aku belum cukup tua. Sekali lagi tidak. Aku tak suka jika mereka mengatakan aku tua. Baru sepuluh tahun kita menikah ditambah empat tahun penantianku. Belum cukup tua bukan.
Lihatlah tubuhku yang masih indah dan kecantikanku yang masih terjaga. Kulitku pun belum keriput dimakan usia. Payudaraku masih menggantung dengan tepat ditempatnya tanpa perlu alat penyangga. Dan rambutku, ah, masih hitam-hitam saja. Mereka memang mengada-ada tiap kali mengucap aku telah tua. Mereka terlalu mengada-ngada. Setiap hari aku berhias diri untuk menantimu pulang kembali. Menambah gincu sedikit dan merapikan rambutku di depan cermin hadiah darimu. Kau masih ingatkan, ketika menghadiahiku cermin antik ini. Hasil buruanmu setelah kau berkelana dari suatu tempat jauh. Kau suka sekali berkelana kemana saja. Tapi aku tetap setia saja menunggumu di rumah kita. Menantimu pulang dengan segenap cinta. Pulanglah cepat suamiku. Sebelum matahari tenggelam berganti malam dan menyisakan perpisahan yang mendalam. Aku masih cukup cantik untuk menunggumu di sini. Di beranda ini dengan segenap cinta kasih.
Lima tahun penantian di beranda
Angin berhembus cukup kencang sore ini. Tapi jangan khawatir sayang, aku mengenakan mantel yang cukup hangat untuk menantimu di beranda ini. Aku sudah berhias diri dan menurutku akan cukup menarik hati jika kau melihatnya saat pulang nanti. Ah, lihatlah, pipiku yang memerah seperti buah strawberry. Pintu rumah juga sudah kubuka dengan lebar-lebar sekali. Apakah kau akan pulang malam ini? Aku tak peduli. Aku akan terus menanti kau kembali. Pulang ke rumah ini dan kita bisa bercinta lagi. Aku tak perlu tidur sendiri dan harus melewati malam-malam sepi. Sudah berapa malam kau pergi aku tak pernah menghitung lagi. Sudah banyak sekali.
Aku melirik ke dalam sesekali. Ku lihat disana Ibu duduk seorang diri seperti aku di beranda ini. Wajahnya begitu murung tampak sedih sekali. Ibu begitu menderita sejak kau pergi. Dia tak rela aku harus menunggumu terus-terusan begini di beranda di atas kursi goyang tua ini. Tak peduli hujan turun membasahi bumi. Tak peduli angin kencang menerpa tubuh ini. Bisa masuk angin nanti, begitu kata Ibu menasehati. Ah, aku tetap tak peduli. Yang penting aku akan tetap disini, menunggumu kembali. Aku sesekali melirik Ibu yang masih duduk sendiri. Menangis di sana tiada henti. Sudahlah Ibu tak perlu kau risau hati, aku akan baik-baik saja menunggu kekasih hatiku kembali.
Enam tahun penantian di beranda
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tahun berputar cepat hingga hari ini. Tepat di hari ini. Sudah enam tahun aku menunggumu pulang tapi kau tak kunjung datang. Kemanakah gerangan pergimu, sayang. Sudah hampir habis kesabaranku. Sudah hampir naik ke ubun-ubun rasa amarahku. Sudah hampir sirna rasa cintaku. Tapi kau tak juga kunjung kembali. Belum puaskah kau di sana menguji nyali. Bercinta dengan seseorang lain yang lebih kau kehendaki. Tak tahu malu. Memangnya dia secantik apa. Apakah melebihi Dewi Shinta atau melebihi Nawang Wulan atau melebihi Greta Garbo atau bahkan melebihi Boneka Barbie si tokoh imajinasi. Aku sudah bosan dengan penantian ini.
Bunga-bunga itu juga sudah lama mati dan tak lagi kupelihara dengan sepenuh hati. Untuk apalagi aku menjaga cinta ini. Mungkin benar kata Ibu, aku sudah masuk angin tak terobati. Sudah parah sakit ini hingga menjalar mengganti seluruh cinta di dalam hati. Cintaku pelan-pelan mulai terhapus dan terganti seiring dengan berlalunya hari. Penantian berujung sepi. Kemana kau pergi berkelana kali ini. Masih cukupkah alasan untuk tak kembali. Atau barangkali kau tersesat dan lupa jalan untuk pulang ke rumah ini. Cinta memang buta. Cinta memang gila. Sudahlah, jangan-jangan kau memang lupa. Jangan-jangan kau tak ingat lagi jalan mana yang perlu kau lalui untuk sampai kesini. Atau aku perlu menantimu di ujung jalan itu. Sekedar untuk menunjukkan padamu disini rumah kita. Rumah kita yang penuh cinta. Tapi sepertinya itu belum perlu.
Tak peduli aku meski berapa lama lagi harus menunggu. Meski aku harus sendiri, kuputuskan saja akan tetap menantimu di beranda ini. Meski sudah mulai memutih rambutku, meski tak indah lagi tubuhku, meski sudah mati bunga-bunga itu, meski Ibu harus menangis setiap waktu, meski masuk angin parah menyerangku, dan meski musim akhirnya berganti salju. Aku akan tetap menunggumu di beranda ini. Diatas kursi goyang tua ini sendiri dan berharap kau akan kembali bersamaku lagi. Merajut hari dengan penuh cinta kasih di rumah ini. Bersamamu.
Sepuluh tahun penantian di beranda
Barangkali ini yang dinamakan cinta. Lengkap dengan atribut kesetiaan dan kesabaran atau bahkan ketololan. Menunggu sekian lama tanpa kepastian. Harus kemana lagi aku mencari kabar tentangmu, saat angin tak lagi bersedia membawakannya untukku. Angin sudah lelah. Beranda ini sudah lelah. Kursi ini sudah lelah. Senja sudah lelah. Akupun sudah mulai lelah. Sudah sepuluh tahun aku menanti disini.
Di beranda ini sendiri. Terus berharap bisa merajut mimpi seperti dulu lagi saat kau kembali. Tapi semuanya tetap saja jadi mimpi. Tak akan pernah bisa terjadi jika kau tak kembali. Aku sudah benar-benar lelah. Tubuh ini sudah lelah. Jiwa dan hati ini juga lelah. Apalagi cinta ini sudah sangat lelah. Sudah, sudahlah. Barangkali memang sudah saatnya aku menyudahi penantian tak berkesudahan ini. Lebih baik aku tak berdiam diri di sini. Barangkali aku bisa menemukanmu di suatu tempat. Entah dimana. Barangkali memang aku harus pergi, dan tidak hanya bermimpi kau kembali ke rumah ini. Atau barangkali kau kini sedang menungguku juga. Menungguku di suatu tempat dengan segenap cinta dan seikat bunga.
Ya, aku memang harus pergi mencarimu. Tapi jangan khawatir, meski aku pergi, aku akan tetap membuka pintu rumah ini lebar-lebar dan meninggalkan sepotong cinta di beranda rumah kita. Agar kelak jika kau kembali, kau masih akan menemukan cinta untukmu. Benar-benar masih ada cinta untukmu meski kini tinggal sepotong saja. Tahukah kamu mengapa cinta itu tinggal sepotong saja. Cinta itu semakin habis digerus waktu. Jika kamu kembali nanti, jagalah cinta itu. Jagalah baik-baik meski hanya tinggal sepotong saja.
***
Sore itu, saat angin berhembus lembut masuk melalui daun pintu dan terus saja masuk ke ruang tamu, dimana seorang Ibu tengah berbicara dengan putri semata wayangnya. Putri tersayang yang tinggal satu-satunya. Benar-benar hanya tinggal satu saja.
“Dia, masih saja di situ”
“Dia siapa? Bagaimana Ibu tahu ?”
“Ibu selalu tahu”
“Bagaimana caranya Ibu bisa tahu?”
“Pokoknya Ibu tahu”
“Masihkah dia bersedih seperti dulu, Ibu?”
“Dia akan selalu setia menunggu di situ. Seorang diri di beranda itu. Dengan segala rasa sepi seperti dulu saat dia pergi dan tak pernah kembali”.
Keduanya lantas terdiam.......
Suasana tiba-tiba saja hening. Hening sekali. Hanya sesekali terdengar gemeresak suara daun ditingkah angin di luar sana. Rupanya angin sudah berlalu dari ruang tamu. Angin sudah menjauh meninggalkan suasana hening dan sepi membeku. Nyelonong pergi tak tahu diri tanpa permisi. Hanya menyisakan pilu dan sesal di hati.
Barangkali angin pergi mencari kekasih hatinya yang sudah lama berkelana. Tak tahan diri rupanya dia menunggu dalam kesabaran saja. Barangkali kini dia pergi menyusuri kota dan setiap denyut kehidupannya. Menjelajah berkelana berarah kemanapun dia suka. Yang jelas bukan menunggu saja di beranda. Menunggu tanpa batas waktu dengan sepotong cinta. Menunggu dalam diam dan tanya apakah akan kembali kekasihku. Kembali dengan membawa cinta seperti dulu seperti ketika pertama kali bertemu.
Mitha Laksono | Desember 2007
Read More..
Kopi
01.13 / Comments (0) / by administrator
Sepetak kamar. Dua gelas kopi manis. Selantun tembang rindu. Hanya itu yang kita miliki saat ini. Waktu berputar begitu cepat. Namun mata ini tak kunjung pekat. Aku sama sekali tak dihinggapi rasa kantuk. Demikian pula kamu. Adalah sebuah kesalahan jika sebelum tidur kita minum segelas kopi. Namun sepertinya kita tak ingin melewati malam ini begitu saja. Akhirnya kita memutuskan untuk duduk saja di teras kamar ini. Berdua saja. Hanya aku dan kamu.
Menikmati dinginnya udara malam sambil mendengarkan alunan musik. Lembut mengalir mengikuti arah angin. Sementara itu, sambil sesekali menarik nafas, kamu menunjuk ke langit. Menunjuk ke arah bintang itu. Diam berkelip-kelip. Entah apa maksudmu aku tak tahu. Barangkali sudah diam saja. Nikmati saja. Tidak perlu berangan apapun. Malam lebih indah jika dinikmati dalam diam. Lagu berganti. Sabda alam. Kita masih dalam diam. Sepetak kamar. Dua gelas kopi manis yang tinggal separuh. Alunan lagu sendu. Hanya ini yang kita miliki saat ini. Diam dalam malam kelam. Tak perlu berangan apapun.
Suara orang lalu lalang ribut sekali. Sibuk berlarian kesana kemari. Bingung mencari kunci. Bingung mencari kerudung. Bingung mencari sandal. Bingung mencari yang lain-lain. Sementara di luar iring-iringan jenazah akan segera diberangkatkan. Mobil ambulans pembawa jenazah serta mobil pengiring bersiap untuk memutar roda. Menyusuri jalanan kearah pemakaman di ujung timur kota. Suara orang berdoa ditingkah suara tangis memilukan. Seolah tak rela melepas kepergian jenazah.
Di sudut ruang tamu rumah, seorang wanita berpakaian serba hitam berkerudung putih tersedu dalam diam. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Namun waktu tak pernah peduli dengan permintaan apapun. Dia akan terus berlari. Beriringan dengan hari yang terus berganti. Wanita itu terus saja menangis. Tak peduli uluran tangan yang mengelus pundaknya. Tak peduli ucapan yang mencoba menenangkan hatinya. Tak peduli apapun.
Dia hanya berharap semoga waktu bisa diputar kembali. Tiba-tiba seorang pria menghampiri dan mengajaknya untuk bergegas masuk ke dalam mobil. Jenazah akan diberangkatkan saat itu juga. Namun wanita itu tak ingin beranjak. Dia hanya ingin berada di sana. Di sudut ruang tamu itu. Menangis. Entah menangisi sebuah perpisahan atau menangis menyesali keadaan atau menangisi ketidakpedulian sang waktu. Tak ada yang tahu.
Dua orang wanita tengah duduk di sebuah bangku taman. Wanita satu tampak bermuka marah sedangkan yang satu diam dalam tenang. Keduanya terlihat tengah memperbincangkan sesuatu yang tak terlalu serius. Hanya persoalan yang sama yang terus terjadi berulang-ulang. Seolah tanpa solusi. Hanya berputar-putar saja di tempat yang sama. Sudut pandang yang sama. Orang yang sama. Pokok permasalahan yang sama. Itu-itu saja.
Seperti sore itu. Duduk di bangku yang sama. Pembicaraan yang sama. Ekspresi yang sama. Sama-sama tak menemukan jalan keluar dari persoalan yang selalu sama. Namun sore ini situasi taman tak sama Taman sore itu sedikit sepi. Tak banyak orang jogging hari ini. Atau sekedar membaca koran. Atau sekedar duduk saja seperti mereka berdua. Atau sekedar lewat saja. Tak banyak pula anak kecil bermain. Bahkan orang gila yang biasa tidur di taman inipun tak terlihat sore itu. Kemanakah gerangan dia si orang gila.
Mereka menyebutnya orang gila. Terobsesi untuk jadi polisi. Hingga tak heran dia suka sekali membunyikan peluit sambil menggerakkan tangan mengatur barisan bunga di taman. Pohon-pohon disuruhnya untuk berbaris rapi. Memberi hormat pada lampu taman, seolah komisaris besar polisi. Benar-benar menyedihkan. Orang gila dan taman ini belakangan seperti dua sisi mata uang tak terpisahkan.
Setiap saat, setiap waktu. Hujan atau panas. Siang atau malam. Orang gila itu selalu ada di taman ini. Ketika setiap orang pergi ke taman untuk menikmati sore sambil menunggu berlalunya waktu, orang gila itu seolah tak mengenali pergantian waktu. Nirwaktu. Setiap saat baginya adalah pengorbanan dan pengabdian untuk sebuah cita-cita heroik. Menjadi seorang polisi.
Wanita satu : “Bapak tak pernah mencintaiku”
Wanita dua : “Bagaimana kau bisa mengatakan demikian. Memangnya kau tahu itu?”
Wanita satu : “Aku tahu persis karena tiap hari aku mengalami kekecewaan akibat sikapnya padaku “
Wanita dua : “Barangkali kau hanya perlu lebih memahaminya sebagai seorang tua yang kesepian”
Wanita satu : “Aku sudah mencoba. Namun Bapak tak pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya”
Wanita dua : ……….
Wanita satu : “Aku nyaris tak menemukan celah untuk berdamai dengannya “
Wanita dua : ……………
Wanita satu : “Bapak sepertinya tak ingin aku menunjukkan betapa besar rasa sayangku padanya”
Wanita dua :…………
Wanita satu :”Apa saranmu? Kau orang terdekatku. Sahabatku. Paling mengerti aku”
Wanita dua : “Sabar”
Wanita satu menghembuskan nafas panjang. Sore kembali hening. Taman masih sepi. Mendung menggelayut. Angin menyapu pelan. Mereka memutuskan untuk pulang.
***********
Iring-iringan jenazah telah berangkat ke pemakaman. Wanita itu tetap saja menangis di pojok ruang tamu. Keadaan rumah sepi. Lorong rumah sepi. Kamar-kamar sepi. Hanya tinggal wanita itu sendiri. Kini dia mulai beranjak dan melangkah ke sebuah kamar. Salah satu kamar utama dalam rumah tua itu. Wanita itu menyapu pandangan ke seliling ruang.
Tembok yang di penuhi foto-foto. Kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya. Salah satunya tampak foto seorang pria paruh baya tengah memeluk anak perempuan kecil berambut ikal. Senyum mengembang di antara keduanya. Rambut mereka carut marut diterpa angin pantai yang tak bersahabat. Tapi mereka seolah tak peduli. Larut dalam kebahagiaan. Dibibir pantai mereka berpelukan. Indah sekali. Tangis wanita itupun pecah.
“Bapak……..” gumamnya pelan. Seprai ungu bergaris biru masih menyisakan cekungan tubuh Bapaknya beberapa jam yang lalu. Saat tubuh renta itu lemah berbaring sendiri. Sementara wanita itu bersimpuh di samping ranjang. Bapak sudah pergi. Menyisakan segala sesal tak henti. Jangan pergi dulu, Bapak. Aku belum sempat mengucap maaf padamu. Aku belum sempat bersenda gurau denganmu. Aku belum sempat tersenyum padamu. Aku belum sempat berbagi cerita lagi denganmu. Aku belum sempat membalas segalanya. Aku belum melakukan apapun untuk membuat Bapak bangga padaku.
Tiba-tiba wanita itu begitu marah. Entah marah pada siapa. Benar-benar marah.
Dua cangkir kopi yang sudah habis. Angin malam yang mengalir pelan. Suara musik sudah lama berhenti. Meninggalkan kita berdua dalam kelam. Hanya ini yang kita miliki saat ini. Kamu meraih tanganku pelan. Kita masih melihat kearah bintang. Bintang itu berkelip. Begitu terang namun begitu jauh. Sehingga tak mungkin jika kita ingin merengkuh. Sudahlah diam saja, katamu. Tak usah menginginkan apapun.
Karena dalam diam, kita akan mampu memaknai segalanya. Memaknai malam, memaknai perpisahan, memaknai penyesalan, dan memaknai kesendirian. Suara musik sudah lama berhenti. Berganti dengan alunan orkestra malam yang benar-benar sempurna. Entah mengapa, tiba-tiba saja, kini aku benar-benar bersyukur kita memilikinya malam ini. Read More..
Menikmati dinginnya udara malam sambil mendengarkan alunan musik. Lembut mengalir mengikuti arah angin. Sementara itu, sambil sesekali menarik nafas, kamu menunjuk ke langit. Menunjuk ke arah bintang itu. Diam berkelip-kelip. Entah apa maksudmu aku tak tahu. Barangkali sudah diam saja. Nikmati saja. Tidak perlu berangan apapun. Malam lebih indah jika dinikmati dalam diam. Lagu berganti. Sabda alam. Kita masih dalam diam. Sepetak kamar. Dua gelas kopi manis yang tinggal separuh. Alunan lagu sendu. Hanya ini yang kita miliki saat ini. Diam dalam malam kelam. Tak perlu berangan apapun.
Suara orang lalu lalang ribut sekali. Sibuk berlarian kesana kemari. Bingung mencari kunci. Bingung mencari kerudung. Bingung mencari sandal. Bingung mencari yang lain-lain. Sementara di luar iring-iringan jenazah akan segera diberangkatkan. Mobil ambulans pembawa jenazah serta mobil pengiring bersiap untuk memutar roda. Menyusuri jalanan kearah pemakaman di ujung timur kota. Suara orang berdoa ditingkah suara tangis memilukan. Seolah tak rela melepas kepergian jenazah.
Di sudut ruang tamu rumah, seorang wanita berpakaian serba hitam berkerudung putih tersedu dalam diam. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Namun waktu tak pernah peduli dengan permintaan apapun. Dia akan terus berlari. Beriringan dengan hari yang terus berganti. Wanita itu terus saja menangis. Tak peduli uluran tangan yang mengelus pundaknya. Tak peduli ucapan yang mencoba menenangkan hatinya. Tak peduli apapun.
Dia hanya berharap semoga waktu bisa diputar kembali. Tiba-tiba seorang pria menghampiri dan mengajaknya untuk bergegas masuk ke dalam mobil. Jenazah akan diberangkatkan saat itu juga. Namun wanita itu tak ingin beranjak. Dia hanya ingin berada di sana. Di sudut ruang tamu itu. Menangis. Entah menangisi sebuah perpisahan atau menangis menyesali keadaan atau menangisi ketidakpedulian sang waktu. Tak ada yang tahu.
Dua orang wanita tengah duduk di sebuah bangku taman. Wanita satu tampak bermuka marah sedangkan yang satu diam dalam tenang. Keduanya terlihat tengah memperbincangkan sesuatu yang tak terlalu serius. Hanya persoalan yang sama yang terus terjadi berulang-ulang. Seolah tanpa solusi. Hanya berputar-putar saja di tempat yang sama. Sudut pandang yang sama. Orang yang sama. Pokok permasalahan yang sama. Itu-itu saja.
Seperti sore itu. Duduk di bangku yang sama. Pembicaraan yang sama. Ekspresi yang sama. Sama-sama tak menemukan jalan keluar dari persoalan yang selalu sama. Namun sore ini situasi taman tak sama Taman sore itu sedikit sepi. Tak banyak orang jogging hari ini. Atau sekedar membaca koran. Atau sekedar duduk saja seperti mereka berdua. Atau sekedar lewat saja. Tak banyak pula anak kecil bermain. Bahkan orang gila yang biasa tidur di taman inipun tak terlihat sore itu. Kemanakah gerangan dia si orang gila.
Mereka menyebutnya orang gila. Terobsesi untuk jadi polisi. Hingga tak heran dia suka sekali membunyikan peluit sambil menggerakkan tangan mengatur barisan bunga di taman. Pohon-pohon disuruhnya untuk berbaris rapi. Memberi hormat pada lampu taman, seolah komisaris besar polisi. Benar-benar menyedihkan. Orang gila dan taman ini belakangan seperti dua sisi mata uang tak terpisahkan.
Setiap saat, setiap waktu. Hujan atau panas. Siang atau malam. Orang gila itu selalu ada di taman ini. Ketika setiap orang pergi ke taman untuk menikmati sore sambil menunggu berlalunya waktu, orang gila itu seolah tak mengenali pergantian waktu. Nirwaktu. Setiap saat baginya adalah pengorbanan dan pengabdian untuk sebuah cita-cita heroik. Menjadi seorang polisi.
Wanita satu : “Bapak tak pernah mencintaiku”
Wanita dua : “Bagaimana kau bisa mengatakan demikian. Memangnya kau tahu itu?”
Wanita satu : “Aku tahu persis karena tiap hari aku mengalami kekecewaan akibat sikapnya padaku “
Wanita dua : “Barangkali kau hanya perlu lebih memahaminya sebagai seorang tua yang kesepian”
Wanita satu : “Aku sudah mencoba. Namun Bapak tak pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya”
Wanita dua : ……….
Wanita satu : “Aku nyaris tak menemukan celah untuk berdamai dengannya “
Wanita dua : ……………
Wanita satu : “Bapak sepertinya tak ingin aku menunjukkan betapa besar rasa sayangku padanya”
Wanita dua :…………
Wanita satu :”Apa saranmu? Kau orang terdekatku. Sahabatku. Paling mengerti aku”
Wanita dua : “Sabar”
Wanita satu menghembuskan nafas panjang. Sore kembali hening. Taman masih sepi. Mendung menggelayut. Angin menyapu pelan. Mereka memutuskan untuk pulang.
***********
Iring-iringan jenazah telah berangkat ke pemakaman. Wanita itu tetap saja menangis di pojok ruang tamu. Keadaan rumah sepi. Lorong rumah sepi. Kamar-kamar sepi. Hanya tinggal wanita itu sendiri. Kini dia mulai beranjak dan melangkah ke sebuah kamar. Salah satu kamar utama dalam rumah tua itu. Wanita itu menyapu pandangan ke seliling ruang.
Tembok yang di penuhi foto-foto. Kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya. Salah satunya tampak foto seorang pria paruh baya tengah memeluk anak perempuan kecil berambut ikal. Senyum mengembang di antara keduanya. Rambut mereka carut marut diterpa angin pantai yang tak bersahabat. Tapi mereka seolah tak peduli. Larut dalam kebahagiaan. Dibibir pantai mereka berpelukan. Indah sekali. Tangis wanita itupun pecah.
“Bapak……..” gumamnya pelan. Seprai ungu bergaris biru masih menyisakan cekungan tubuh Bapaknya beberapa jam yang lalu. Saat tubuh renta itu lemah berbaring sendiri. Sementara wanita itu bersimpuh di samping ranjang. Bapak sudah pergi. Menyisakan segala sesal tak henti. Jangan pergi dulu, Bapak. Aku belum sempat mengucap maaf padamu. Aku belum sempat bersenda gurau denganmu. Aku belum sempat tersenyum padamu. Aku belum sempat berbagi cerita lagi denganmu. Aku belum sempat membalas segalanya. Aku belum melakukan apapun untuk membuat Bapak bangga padaku.
Tiba-tiba wanita itu begitu marah. Entah marah pada siapa. Benar-benar marah.
Dua cangkir kopi yang sudah habis. Angin malam yang mengalir pelan. Suara musik sudah lama berhenti. Meninggalkan kita berdua dalam kelam. Hanya ini yang kita miliki saat ini. Kamu meraih tanganku pelan. Kita masih melihat kearah bintang. Bintang itu berkelip. Begitu terang namun begitu jauh. Sehingga tak mungkin jika kita ingin merengkuh. Sudahlah diam saja, katamu. Tak usah menginginkan apapun.
Karena dalam diam, kita akan mampu memaknai segalanya. Memaknai malam, memaknai perpisahan, memaknai penyesalan, dan memaknai kesendirian. Suara musik sudah lama berhenti. Berganti dengan alunan orkestra malam yang benar-benar sempurna. Entah mengapa, tiba-tiba saja, kini aku benar-benar bersyukur kita memilikinya malam ini. Read More..